TNews, Kaltim -Di balik gegap gempita pembangunan dan kemegahan narasi transformasi ekonomi Kalimantan Timur sebagai daerah penyangga Ibu Kota Negara (IKN) baru, kenyataan pahit kembali menyeruak ke permukaan. Seperti hantu yang tak pernah diusir tuntas, praktik tambang ilegal kembali menghantui bumi Borneo dengan wajah yang makin liar dan tak terkendali.
Belum lama ini, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Timur mengungkap temuan yang mengejutkan: sebanyak 108 titik tambang galian C ilegal ditemukan tersebar di berbagai wilayah di provinsi ini. Aktivitas ilegal ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak ekosistem dan menimbulkan keresahan luas di masyarakat.
Pertanyaannya: Bagaimana mungkin 108 titik tambang ilegal bisa eksis tanpa sepengetahuan Pemerintah? Apakah kita harus kembali mengulang sejarah panjang pembiaran, ketika pengawasan lemah, hukum tumpul ke atas, dan lingkungan hanya menjadi korban diam dari kerakusan segelintir orang yang mengeruk tanah ini tanpa nurani?
Kepala Dinas ESDM Kaltim, Bambang Arwanto, dalam pernyataannya, menyebut bahwa temuan ini didapat melalui pemantauan berkala. Ia juga menegaskan bahwa sebagian dari tambang-tambang tersebut bahkan beroperasi di kawasan hutan lindung dan Area Penggunaan Lain (APL) yang seharusnya terbebas dari aktivitas ekstraktif.
Namun pernyataan tersebut justru membuka luka lama yang tak kunjung sembuh: kelemahan sistemik dalam pengawasan tata kelola sumber daya alam di negeri ini.
Jika pemantauan dilakukan secara berkala, mengapa jumlah tambang ilegal justru mencapai angka ratusan? Apakah ini pertanda bahwa pemantauan itu sebatas formalitas birokrasi belaka, dilaporkan ke pusat, disimpan dalam laci, tanpa ada langkah korektif yang sungguh-sungguh?
Ini adalah tamparan keras terhadap efektivitas negara dalam menjaga wibawa hukumnya. Apa artinya pemantauan berkala jika ratusan tambang ilegal tetap beroperasi secara terang-terangan?
Laporan ini bukan sekadar daftar pelanggaran administratif. Ia adalah indikator darurat moral dan ekologi, yang memperlihatkan bagaimana negara sering kali kalah oleh kekuatan modal dan mafia pertambangan.
Kita perlu jujur melihat fenomena ini sebagai bagian dari jaringan bisnis ilegal bernilai miliaran rupiah. Aktivitas tambang ilegal bukanlah tindakan sporadis segelintir warga. Ia melibatkan jaringan yang luas: dari pemilik modal, pengelola alat berat, pengatur distribusi, hingga dugaan yang sering mengemuka yakni oknum aparat dan pejabat yang “bermain di dua kaki”.
Pertanyaan yang layak diajukan secara kritis:
Siapa pemilik lahan yang digunakan untuk tambang ilegal itu?
Bagaimana alat berat dan kendaraan pengangkut material bisa keluar masuk tanpa ada hambatan dari aparat?
Mengapa pelanggaran terhadap kawasan hutan lindung tidak langsung berujung pada proses hukum?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan membuka tabir realitas bahwa di balik tambang-tambang ilegal itu, ada kekuatan yang lebih besar dari negara, lebih berani dari hukum, dan lebih licin dari birokrasi.
Bambang Arwanto menyebut bahwa luas lahan yang terdampak aktivitas tambang ilegal telah mencapai 36,89 hektare. Tiga hektare di antaranya bahkan berada di kawasan hutan lindung. Ini bukan angka biasa. Ini adalah darurat ekologis.
Kerusakan ekologis tak bisa dihitung hanya dari jumlah hektare atau lembaran Amdal. Yang tak terlihat jauh lebih menakutkan: kehancuran sistem hidrologi, rusaknya habitat satwa liar, meningkatnya potensi longsor dan banjir, serta hilangnya fungsi resapan air tanah.
Lalu, siapa yang akan menanggung biaya pemulihan lingkungan? Apakah para penambang ilegal akan duduk di meja hijau dan membayar ganti rugi? Atau justru negara yang akan kembali menggelontorkan dana dari APBD atau APBN atas nama rehabilitasi lingkungan?
Yang terjadi justru lebih ironis: kerusakan akibat aktivitas ilegal ditanggung oleh negara, sementara keuntungan dari hasil tambang jatuh ke tangan-tangan gelap.
Penertiban? Janji yang Terlalu Terlambat
Pemerintah menyatakan akan melakukan penertiban. Bahkan disebutkan bahwa sudah ada dua kali penertiban dilakukan di Kelurahan Kanaan, Kota Bontang, dan kawasan KHDTK Unmul. Namun sejauh ini, laporan baru masuk dari tiga titik: Bontang Barat, KHDTK Unmul, dan Kutai Timur.
Apakah pemerintah hanya akan bergerak jika ada laporan? Apakah fungsi pengawasan aktif kini dialihkan sepenuhnya kepada masyarakat sipil? Sungguh tidak adil bila tanggung jawab menjaga hutan dan menegakkan hukum hanya dibebankan pada warga, sementara aparat berwenang sekadar menunggu panggilan.
Tindakan penertiban yang lamban, parsial, dan reaktif bukanlah solusi. Yang dibutuhkan adalah: audit menyeluruh terhadap wilayah-wilayah rawan tambang ilegal; penguatan kelembagaan pengawasan, termasuk digitalisasi dan transparansi data pertambangan dan juga penindakan hukum yang menyentuh aktor intelektual dan pelindung jaringan tambang ilegal, bukan hanya operator lapangan.
Tanpa itu semua, penertiban hanya akan menjadi ritual tahunan untuk meredakan tekanan publik, bukan untuk menyelesaikan masalah.
Kita juga harus mengkritisi secara lebih dalam soal mekanisme perizinan tambang di daerah. Di balik kompleksitas tata ruang dan tumpang tindih kebijakan kehutanan, tambang, dan lingkungan hidup, tersembunyi konflik kepentingan antara pemerintah daerah, investor, dan pejabat pusat.
Banyak wilayah yang dulunya termasuk hutan lindung kini berubah statusnya karena kepentingan tambang. Banyak perizinan diterbitkan tanpa konsultasi publik yang memadai. Banyak keputusan yang dibuat bukan atas dasar kesejahteraan rakyat, melainkan transaksi politik dan ekonomi.
Apakah ini yang sedang terjadi di Kalimantan? Apakah lemahnya penegakan hukum terhadap tambang ilegal juga bagian dari kompromi politik dalam menyambut era IKN?
Kalimantan Timur adalah jantung paru-paru Indonesia. Ia bukan sekadar wilayah administratif atau titik koordinat pada peta investasi. Ia adalah rumah bagi generasi yang akan datang.
Jika negara benar-benar serius menyelamatkan Kaltim dari jerat tambang ilegal, maka harus ada tindakan nyata yang berani, terbuka, dan berpihak pada keadilan ekologis dan sosial. Jika tidak, maka kita hanya sedang menyaksikan negara yang hadir di atas podium, tetapi absen di tengah hutan yang dijarah. Kita hanya sedang melihat sistem hukum yang hidup di dokumen, tapi mati di lapangan.
Dan yang paling menyedihkan: kita sedang menyaksikan generasi mendatang diwarisi tanah yang rusak, air yang tercemar, dan langit yang penuh debu, karena rakusnya oknum-oknum yang tak bertanggung jawab dan diamnya negara.
Jika Anda mencintai Kalimantan Timur, jangan diam. Suarakan, desak, dan tagih janji negara. Karena diam adalah bentuk lain dari pengkhianatan.***
Redaksi: Jika Anda mengetahui aktivitas tambang ilegal di sekitar Anda, laporkan melalui Call Center ESDM Kaltim: 0851-8337-5390. Karena bumi tidak bisa bersuara, tetapi Anda bisa.