TNews, Kukar– PT Baramulti Suksessarana Tbk (BSSR) akhirnya angkat bicara menanggapi tudingan masyarakat yang mengaitkan aktivitas pertambangan mereka di Desa Batuah, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan peristiwa longsor yang terjadi di Kilometer 28 Jalan Poros Samarinda-Balikpapan.
Pihak perusahaan menyatakan kesiapannya untuk menjalani seluruh proses investigasi yang akan dilakukan oleh tim inspektur tambang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sekaligus menepis dugaan bahwa kegiatan operasional mereka menjadi penyebab langsung bencana tersebut.
Baca juga: https://kaltim.totabuan.news/terkini/108-tambang-ilegal-galian-c-kepung-kalimantan-timur/
Kepala Teknik Tambang PT BSSR, Doni Nababan, menjelaskan bahwa perusahaan telah mereklamasi area disposal yang sebelumnya digunakan sebagai tempat pembuangan material tambang.
Reklamasi itu, kata dia, telah rampung sejak tahun 2024. Ia menegaskan bahwa secara teknis, posisi area reklamasi berada pada elevasi yang lebih rendah dari lokasi longsor, sehingga kecil kemungkinan adanya hubungan langsung antara aktivitas perusahaan dan bencana tersebut.
“Area longsor berada di ketinggian 147 meter, sedangkan kolam kami berada di 134 meter di atas permukaan laut. Secara ilmiah, air tidak mengalir ke atas,” jelas Doni saat ditemui dilokasi tambang, Selasa, 24 Juni 2025.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa pihak perusahaan tidak lepas tangan terhadap penderitaan yang dialami warga. Doni menyebutkan bahwa BSSR tetap akan mengambil peran dalam proses pemulihan dan mendukung warga terdampak melalui program tanggung jawab sosial perusahaan.
“Namun sebagai perusahaan, kami tetap menunjukkan kepedulian. Terkait dengan kontribusi, kami siap. CSR kami akan jalan,” imbuhnya.
Sikap terbuka perusahaan tersebut muncul setelah gelombang ketidakpuasan muncul dari masyarakat atas hasil kajian awal yang dilakukan oleh tim ahli Universitas Mulawarman.
Dalam kajian itu disebutkan bahwa longsor tidak berkaitan langsung dengan aktivitas pertambangan di sekitar lokasi. Namun, pernyataan tersebut tidak serta-merta menenangkan warga. Sebaliknya, masyarakat setempat justru semakin gencar menyuarakan kecurigaan mereka, terutama terhadap eksistensi disposal milik BSSR yang dianggap menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya longsor.
Bencana yang terjadi pada jalur penghubung vital antara Samarinda dan Balikpapan itu telah menyebabkan kerusakan parah terhadap 21 rumah dan bangunan lainnya. Sedikitnya 28 keluarga, dengan total 88 jiwa, terdampak langsung oleh peristiwa tersebut. Mereka kehilangan tempat tinggal dan mengalami kerugian materiel yang tidak sedikit.
Merespons situasi ini, Kepala Dinas ESDM Provinsi Kalimantan Timur, Bambang Arwanto, memastikan bahwa pemerintah daerah telah mengambil langkah serius. Salah satunya dengan segera mengirimkan surat resmi ke Kementerian ESDM untuk meminta penurunan tim Inspektur Tambang dari Jakarta.
Tujuannya, menurut Bambang, adalah untuk memastikan proses investigasi berlangsung objektif dan tidak berpihak.
“Inspektur tambang akan melakukan investigasi masalah ini untuk mendapatkan kesimpulan, siapa yang bersalah. Kalau BSSR yang salah, maka kita minta pertanggungjawaban, tetapi kalau ini bencana alam, maka tidak ada yang bisa disalahkan. Inspektur tambang akan menjadi wasitnya,” ujar Bambang di hadapan warga saat pertemuan terbuka berlangsung di lokasi.
Langkah ini dianggap krusial di tengah ketegangan yang mulai meningkat antara warga dan perusahaan tambang. Sebagian masyarakat mendesak agar pemerintah bertindak lebih tegas, tidak hanya mengandalkan hasil kajian akademik yang mereka nilai belum menyentuh akar masalah.
Kisah longsor di Kilometer 28 tidak hanya mengungkap dampak ekologis dari aktivitas industri ekstraktif, tetapi juga memperlihatkan celah komunikasi antara perusahaan dan komunitas di sekitarnya. Ketika krisis lingkungan terjadi, relasi sosial yang dibangun selama ini diuji ketahanannya. Respons PT BSSR yang membuka ruang dialog dan kontribusi sosial tentu patut dicatat.
Kini, bola panas berada di tangan tim inspektur tambang. Mereka ditugaskan untuk menjawab satu pertanyaan utama yakni, apakah bencana ini murni kehendak alam, atau ada jejak tangan manusia di balik runtuhnya lereng yang membawa malapetaka bagi puluhan keluarga di kaki bukit poros Kalimantan Timur itu? Publik menanti!***