TNews, Samarinda – Bencana longsor yang melanda RT 22, Jalan Belimau, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, menyisakan kepedihan sekaligus peringatan keras akan lemahnya sistem mitigasi bencana di wilayah urban yang bersisian dengan daerah rawan.
Peristiwa ini menjadi pemicu kritik tajam terhadap kinerja pemerintah daerah, khususnya dalam hal kesiapsiagaan menghadapi potensi alam yang tak terduga.
“Mitigasi itu bukan hanya tentang datang setelah kejadian. Harusnya kita bisa membaca tanda-tanda sebelum musibah itu terjadi,” ujar Anggota DPRD Kaltim, Subandi Senin, 19 Mei 2025.
Menurut Subandi, selama ini BPBD terlalu berkutat pada respons pasca-bencana, alih-alih memperkuat pencegahan di wilayah-wilayah berisiko tinggi seperti Lempake. Ia menilai pendekatan yang digunakan cenderung reaktif dan terjebak pada pola kerja tahunan yang stagnan.
Kawasan Lempake, jelasnya, semestinya masuk dalam prioritas utama mitigasi bencana karena posisinya yang berada di dataran tinggi dan berdekatan dengan permukiman padat. Kerentanan ini sudah semestinya teridentifikasi lebih dini. Namun, realitas di lapangan memperlihatkan keterlambatan pemerintah dalam mengambil langkah preventif.
Dalam paparannya, Subandi mendorong agar BPBD membangun sistem informasi kebencanaan yang transparan dan mudah diakses publik. Publikasi berkala terkait titik rawan longsor, menurutnya, sangat penting agar masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai untuk melindungi diri.
Lebih dari itu, aspek infrastruktur juga menjadi sorotan serius. Ia menyebutkan banyak fasilitas publik dibangun tanpa kajian ketahanan terhadap bencana, seperti saluran air, dinding penahan tanah, dan terowongan.
“Bukan hanya soal mitigasi di atas kertas. Infrastruktur juga harus diuji dari sisi teknis. Apakah layak menghadapi tekanan alam saat hujan lebat turun? Apakah sistem drainasenya menopang? Ini semua harus dijawab dengan audit yang berkala,” katanya.
Dalam menghadapi perubahan iklim yang makin ekstrem, Subandi menilai bahwa sudah waktunya pemerintah mengambil langkah lebih progresif. Ia mengusulkan pembentukan tim mitigasi yang terdiri dari tenaga teknis yang kompeten, serta berkolaborasi erat dengan kalangan akademisi guna menyusun peta risiko yang lebih akurat dan adaptif terhadap dinamika lingkungan.
Ia juga mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat. Bagi Subandi, kesadaran warga bukan sekadar pelengkap, melainkan barikade pertama dalam menghadapi potensi bencana.
“Di tengah iklim yang tak menentu seperti sekarang, kita tidak bisa lagi bersikap reaktif. Harus ada transformasi besar-besaran dalam cara kita mengelola risiko,” ujarnya tegas.
Di akhir keterangannya, Subandi menegaskan bahwa DPRD Kalimantan Timur akan terus mengawal kinerja dan kebijakan pemerintah daerah dalam urusan kebencanaan. Ia berkomitmen memperjuangkan penguatan kapasitas BPBD, baik dari segi anggaran maupun sumber daya manusia, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik terhadap keselamatan rakyat.
Langkah ini, tandasnya, bukan sekadar bentuk respon terhadap tragedi, melainkan manifestasi dari kewajiban negara dalam melindungi warganya.