TNews, Samarinda – Langit mendung menggantung di atas Kota Samarinda pada awal Juli 2025, namun di balik awan kelabu itu, semangat menyala dari langkah seorang wakil rakyat yang memilih menjauh sejenak dari gedung parlemen demi mendengar denyut kehidupan warganya.
Ia adalah Sapto Setyo Pramono, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Timur, yang memanfaatkan masa resesnya bukan untuk beristirahat, melainkan turun langsung ke tengah masyarakat.
Sapto, legislator asal daerah pemilihan Kota Samarinda, menggelar kegiatan resesnya pada Kamis, 3 Juli 2025, dengan menyambangi beberapa titik seperti RT 23 dan RT 29 Kelurahan Sungai Dama, RT 27 dan RT 09 di Jalan Damai, hingga ke Gang Steling di kawasan Otto Iskandar Dinata.
Setiap persinggahan bukan sekadar kunjungan seremonial, tetapi menjadi ruang terbuka bagi masyarakat untuk menyampaikan keluh kesah, menyuarakan harapan, dan mengurai persoalan yang belum tersentuh kebijakan.
Dalam pertemuan bersama warga RT 23 dan RT 29 Kelurahan Sungai Dama, keluhan mencuat soal pungutan seragam sekolah yang masih terjadi meski program seragam gratis sudah berjalan. Sapto, yang telah duduk tiga periode di legislatif, langsung merespons lugas.
“Seragam itu hak semua pelajar dan mahasiswa. Kita ingin tak ada lagi beban biaya tambahan bagi orang tua,” ujarnya.
Ia berjanji akan menyampaikan persoalan tersebut ke Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim dan mendorong pelibatan ketua RT dalam pendataan agar distribusi bantuan lebih tepat sasaran. Selain itu, Sapto juga menyatakan kesediaannya membantu renovasi masjid di wilayah itu menggunakan dana pribadi.
“Masalah ibadah ini tidak bisa ditawar. Pemerintah dan kita semua harus berperan aktif,” katanya.
Sapto tak hanya mendengar, tetapi juga menindak. Ketika Ketua RT 27 mengeluhkan pembangunan Masjid Al-Ihsan yang mangkrak sejak 1992 dan baru mencapai 30 persen secara swadaya, Sapto menjawab dengan niat konkret: ia siap membawa aspirasi itu hingga ke meja Gubernur Kaltim. Ia juga mendorong penyelesaian syarat administratif agar bantuan dapat dimasukkan dalam anggaran provinsi.
“Masjid ini harus diselesaikan dalam waktu dekat. Kami minta tolong pak RT dan yayasan segera melengkapi persyaratan. Kita bantu lewat pelelangan yang dikerjakan oleh provinsi. Ini amal jariyah, dan tidak ada yang tidak bisa,” ucapnya sembari menegaskan bahwa ia akan mengutus tim desain untuk mengaudit kebutuhan teknis pembangunan masjid tersebut.
Masih di lokasi yang sama, warga RT 09 menyuarakan keluhan klasik namun tak kunjung selesai: banjir. Air bisa naik hingga dua meter saat hujan deras dan merendam permukiman. Sapto mengakui bahwa isu banjir merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah provinsi dan dirinya akan menindaklanjuti ke dinas terkait.
“Tanggung jawab banjir itu juga bagian provinsi. Saya akan tanya dinas mana yang bertanggung jawab,” tegasnya.
Isu pendidikan juga menjadi sorotan penting. Ketiadaan SMA negeri di kawasan Samarinda Ilir menyebabkan banyak siswa gagal diterima di sekolah karena sistem zonasi. Menjawab kegelisahan warga, Sapto menyatakan komitmennya memperjuangkan pendirian SMA baru, khususnya di Sidodamai.
“Saya sudah tangkap poin-poin keluhan tadi. Tapi sebaiknya masing-masing RT membuat surat usulan ke kantor DPRD, agar lebih jelas dan enak kita tindak lanjuti,” imbuhnya.
Perjalanan reses Sapto berlanjut ke kawasan Gang Steling, di RT 32 dan RT 33. Di sana, permasalahan lain mengemuka: sulitnya akses terhadap air bersih, kelangkaan gas elpiji 3 kilogram, hingga potensi longsor akibat kondisi lingkungan yang rawan saat musim hujan.
“Ini kali pertama reses saya di Gunung Steling. Saya hadir untuk menyerap langsung apa yang menjadi unek-unek masyarakat. Usulan yang lebih detail bisa ditulis dan disampaikan secara tertulis ke kantor DPRD Provinsi Kaltim agar bisa segera ditindaklanjuti,” ujar Sapto di hadapan warga.
Keluhan tentang kelangkaan gas melon diutarakan dengan nada getir oleh warga. Harga yang melambung tinggi hingga Rp80 ribu per tabung menyulitkan ibu rumah tangga. Ada yang menyatakan lebih malas mencari gas daripada membelinya.
“Saya ini bukan malas beli gas, lebih malas nyarinya,” ungkap seorang warga, disambut tawa getir dari warga lainnya.
Sebagai solusi, warga mengusulkan pemasangan jaringan gas alam. Sementara itu, untuk ancaman longsor, masyarakat mendesak pembangunan drainase dan perbaikan infrastruktur jalan.
Menanggapi deretan keluhan tersebut, Sapto menegaskan bahwa ia akan menyampaikan persoalan itu ke dinas teknis, baik di tingkat kota maupun provinsi. Ia juga membuka jalur komunikasi dengan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Samarinda.
“Nanti coba saya komunikasikan, baik dengan wali kota maupun wakil wali kota. Kalau pemerintah kota kesulitan menangani, nanti kita dorong agar provinsi ikut mensupport,” ujar legislator Partai Golkar tersebut.
Menurutnya, persoalan air, gas, dan infrastruktur adalah hak dasar warga yang seharusnya dipenuhi tanpa tertunda.
“Silaturahmi seperti ini akan terus berlanjut. Aspirasi Bapak-Ibu menjadi catatan penting kami di DPRD,” katanya, menutup dialog dengan warga di Gang Steling.
Keesokan harinya, kegiatan reses berlanjut ke kawasan Loa Bakung dan Air Putih. Di dua titik tersebut, Sapto kembali menemui masyarakat yang menghadapi persoalan serupa: banjir, kebutuhan drainase, dan kelangkaan gas elpiji.
“Selama kita mampu, ya Insya Allah kita perjuangkan,” ujarnya di hadapan warga Loa Bakung.
Sementara di Air Putih, isu pendidikan dan infrastruktur kembali mendominasi pembicaraan. Dalam nada reflektif, Sapto yang telah tiga periode duduk di parlemen daerah berharap, pembangunan ke depan tidak hanya berbasis pada data, tetapi juga suara dan wajah-wajah yang ia temui langsung di lapangan.
Dengan pendekatan dialogis dan sikap terbuka terhadap aspirasi masyarakat, Sapto Setyo Pramono menegaskan peran sejati wakil rakyat: hadir, mendengar, dan memperjuangkan. Sebab bagi Sapto, reses bukanlah rehat, melainkan panggung pengabdian.***